0

there are too many incomplete mission ..............

there are too many incomplete mission ..............


perjalanan melewati waktu mestinya memiliki tujuan dan arah yang jelas serta secara bulat dan konsisten diterjemahkan dalam fikir, lisan dan tindak.

tujuan mungkin sudah jelas,
segenap inderapun sudah bekerja dan telah mampu menginderai arah tujuan tsbt.....
tapi kaki dan tangan masih enggan bergerak total,

sementara itu dit4 lain "sang pengontrol" yg bertempat didalam kepala terlalu sibuk mencari apology untuk segala ketidakberesan dan ketidakbecusannya........

sebenarnya aktifitas fikir, lisan dan tindakku selama ini telah diarahkan untuk tunduk dan berpegang pada sebuah hal yang sangat kuyakini,....

tapi, ternyata karunia waktu dari sang pencipta yang terus menerus bertambah rupanya berbanding terbalik dengan aktifitasku mencapai tujuan....

hal yang terus menerus terulang dan berputar hingga muncullah banyak kebingungan...
anehnya, kebingungan tersebut kunikmati dan lebih parahnya lagi itu menjadi pembenranku untuk menunda banyak hal.....

mungkin sy harus mengaku,
sy terlalu takut dan malas untuk memulainya....
yah,,, memulai untuk tunduk dan berpegang pada jalan kesempurnan itu.....

******
I can find more than thousand apology for this "serious problem",,,
tetapi sepertinya inilah alasan ...
""mengapa kepala yang diperintahkan untuk tunduk dan bersujud""
____________________
0

can't stop now by Keane

I noticed tonight that the world has been turning
While I've been stuck here dithering around
Well I know I said I'd wait around till you need me
But I have to go, I hate to let you down
But I can't stop now
I've got troubles of my own
Cause I'm short on time
I'm lonely
And I'm too tired to talk

I noticed tonight that the world has been turning
While I've been stuck here withering away
Well I know I said I wouldn't leave you behind
But I have to go, it breaks my heart to say

That I can't stop now
I've got troubles of my own
Cause I'm short on time
I'm lonely
And I'm too tired to talk

No one back home
I've got troubles of my own
And I can't slow down
For no one in town
And I can't stop now

And I can't slow down
For no one in town
And I can't stop now
For no one

The motion keeps my heart running
The motion keeps my heart running
The motion keeps my heart running
The motion keeps my heart running
0

terakhirmi ini hari.......

sekarang sudah waktunya midtest,,,,
berarti sekitar 2 bulan lagi semester ini berakhir........

sebenarnya sy nda' kuliahji ini semester, tp ada beberapa hal yg sy rencanakan untuk sy kerjakan semester ini.....
tapi klo dievaluasi dan menjadikan tergetan rencana awal sebagai tolak ukur,,,,
relatif tidak terlalu banyak progess positif.........
banyakmi sy bikin tp begitulah .......
semuanya serba setengah2....

hal ini sebenarnya bisa saja dianggap normal....
tetapi deengan mengasumsikan bahwa yg berencana ini adalah seorang pemalas,,.,.,,
jdi ingat, dulu ada senior(tua sekalimi sekarang)bilang''"sawing, biar sempurna bagaimana aturan dan rencana yg ko buat klo malasko samaji bohong"

ini sdh paragrap ke-4, jadi,,,,,,,mungkin,,,,,,,,,,
bagus kyknya,,,,,,,,,,klo dibilangmi bahwa ternyata memang ada pertanda atau gejala2 kemalasan sm saya,,,,,,,,,,,,

ini gejalanya:
- suka menunda pekerjaan dan kemudiaan memakluminya.
- susah bangun pagi dan berkata dalam hati "besokpi deh baru bgn pagi".
- sulit memulai sesuatu dan walhasil menundanya lalu kemudiaan kembali memakluminya.
- selalu menganggap mudah sesuatu, biasanya dihiasi dengan kata" gampangji itu, sebenpi"
- klo sementara kerja, tiba2 pikiran kesana-kesini, dan akhirnya tertunda lagi...
- selalu merasa cepat lelah, jadi istirahat dulu dan semuanya kembali tertunda...
- selalu merasa butuh hiburan, lari2x main game sampe capek dan lagi2 ada yg tertunda
- selalu kekurangan inspirasi, jd selalu mau jalan2, rencanax sih klo dapat baru lanjut pekerjaannya tapi inspirasix nda dapat2 dan seperti yg telah kita prediksikan pekerjaannya tertunda lagi.
- waktu dan methodologi evaluasi diri sendiri nda jelas, jadi tambah kacaumi.........
- selalu merasa waktu terlalu cepat berlalu... jadi, pas lg deadline......,, kerja nda maksimalmi lagi.
- dan yg terakhir, setelah semuanya berlalu pasti mengatakan "terakhirmi ini hari",
mungkin saja benar tapi mungkin juga tidak????????????
hahahhahahhaha..........

kacaunya deh,,,,,

mudah2an besok ato besoknya lagi //////
bisa lawan itu penyakit....


****
klo baca tulisan ini trus ada sedikit kemiripan dengan kisahmu,,,,,,,,,
//////////////silahkan tertawa..............
tapi>>>>
HATI-HATI....
jangan pernah menganggapnya normal***
0

mari menonton........

kenapakah semuanya selalu dianggap sebatas tontonan?
masih dipintu masuk semua mata langsung melihat,ada yang ramah,marah,cuek dan terkandang ada yang langsung menilai,
wah wah.......
ada apa ini......?

pas masuk didalam,
ditanya dari mana?/knapa masuk disini?/
habis ditanya-tanya'
disuruh kesana........disuruh kesini..........
disuruh begini..........disuruh begini........
tapi saya ngikut saja,
meskipun banyakmi yang tidak karena malas bede'

suatu saat,
sebagai pertanda sy diterima,
sy diminta naik panggung (maksudnya sih menyampaikan sebuah pesan tp lagi2 berakhir sebagai sebuah tontonan)
sayapun diminta menjalankan rencana-rencana mereka yg telah kupercaya.......

tp karena prosesnya singkat.....,
jadi semuanya serba belum terlalu.......,
tp katanya harusmi dipertontonkan(hancurnya ini kata)sekarang
tidak boleh tidak,

jadi,,,,,,, yah,,,,,,,
mau tidak mau ..........
akhirnya semuanya terjadi.......,.,.,
yah,,, begitulah,,,,,
lagi2 cuman jd bahan tontonan(padahal yakinka' mereka bisa membuat lebih dari itu)

dan seperti telah banyak diperkirakan oleh banyak orang
kecuali beberapa orang yang yang masih berharap bisa tetap bagus
dan ada seseorang yang menurutku tidak pedulimi hasilnya,
dan cuman ingin melihat hal ini selesai....... (cuman prediksi tp kyknya benar)
lagi2 penonton secara sepihak menilaiku kurang maksimal.....

saya sebenarnya santeji, tp banyak juga yang stres.......
tapi menurutku...
mestinya bukan sy dan rombongan yang dipuji klo bagus ato sebaliknya
mestinya yang dapat semua itu yang mrencanakannya toh????
gimana?????

kira2 ini semua bakalan berulang tidak yah?
klo berulang, berarti bukanmi sy dinonton.....
sy jd penontonmi dan berhak menilai semua yang aku nonton........
?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

***berharap semua yg kita lakukan tidak dijadikan sekedar tontonan
dan tidak dianggap sekedar tontonan***
0

cuman senyum...........

Senang rasanya melihat kalian semua tersenyum
Tapi ada yang mengganggu mataku
Ada tembok besar diantara kalian
Dengan tanganku kucoba menghancurkan tembok tersebut
Beribu pasang tanganpun akhirnya membantuku
Dengan alasan yang hampir sama
Kita akan lebih baik tanpa tembok tersebut
Tembok itupun menyerah dan hancur
Namun segalanya semakin aneh saja
Reruntuhan tembok tersebut justru menjadi saksi redupnya sang senyum
Waktupun berlalu,
Tapi semakin lama tembok itupun kembali tumbuh
Entah siapa yang membangunnya
Sekarang justru semakin banyak
Sekarang terlihat seperti kamar-kamar didalam penjara
Setiap senyum yang membawa serta segala potensi dan visinya
Tak berdaya dibalik jeruji psikologis yang terluka
Entah terluka oleh apa ?????
Dan entah dilukai oleh siapa??????
Yang jelas semuanya tiba-tiba saja merasa terluka …………..
0

Dewa-Dewi Penolongku,...MEMBUNUHKU >>>>

saat cahaya sampai dimataku
seketika serangan dahsyat menghujam deras titik gelap dihatiku
saat aku menutup mata
dan berusaha menghalangi cahaya itu sampai ke mataku
aku berhasil tapi,
serangan yg lebih dasyat kembali menghancurkan hatiku

hal inipun terus berlanjut
setiap aku menggunakan inderaku
rasa sakit kemudian menghantam hati, otak dan ototku
dan itu terjadi terus
tanpa ada pertanda berhenti

saat kupaksa diriku bertahan
dengan berdialektika bersama otakku yg terluka parah
melawan luka-luka yang akan segera membunuhku

akupun merasa semakin tak berdaya
tapi sepertinya luka-luka ini enggan membunuhku
dia hanya ingin melumpuhkanku
tersadar akan hal itu
akupun mencari upaya untuk segera mengakhiri penderitaanku

tetapi tiba-tiba segerombolan obat lewat
dan memberiku harapan
mereka adalah obat, merekalah kawanku, merekalah sang dewa penolongku

tapi mereka tiba-tiba mengasingkanku
menganggapku orang lain
menganggapku musuh
meskipun telah habis suaraku teriak
menjelaskan semuanya
dan mengatakan "tak perlu menolongku tapi tolong jangan asingkan aku"
tak sepatah katapun dia ucapkan
hanya raut muka masam yang tak bisa mempercayaiku

nafaskupun mulai tak bersahabat,
darahku terus menyerang jantungku,
tapi ternyata ......
saat rasa sakit semakin dalam
aku sadar.....
sekali lagi, dewa-dewi penolongku menyelamatkanku
karena dewa dan dewi penolongku telah mengahancurkan dan menghentikan fungsi hatiku pengasingan tersebutpun kuanggap sebagai bentuk rasa sayang mereka

karena seiring dengan rusak totalnya hatiku
mereka telah menghentikan penderitaanku...........
0

Obama Inauguration Speech (Retorika yang Menarik, tapi Amerika Tetaplah Amerika, "With or Without Obama")


Barack Obama was sworn in as the 44th president of the United States and the nation's first African-American president Tuesday. This is a transcript of his prepared speech.

In his speech Tuesday, President Obama said America must play its role in ushering in a new era of peace.

My fellow citizens:

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often, the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forebearers, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet. Video

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land -- a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.http://i.cdn.turner.com/cnn/.element/img/2.0/mosaic/base_skins/baseplate/corner_wire_BL.gif

Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America: They will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn-out dogmas, that for far too long have strangled our politics.

We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of shortcuts or settling for less. It has not been the path for the fainthearted -- for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things -- some celebrated, but more often men and women obscure in their labor -- who have carried us up the long, rugged path toward prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.

For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.

Time and again, these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions -- that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act -- not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions -- who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them -- that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works -- whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be held to account -- to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day -- because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control -- and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart -- not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: Know that America is a friend of each nation and every man, woman and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort -- even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus -- and nonbelievers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West: Know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment -- a moment that will define a generation -- it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter's courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends -- hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism -- these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility -- a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation and the world; duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence -- the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed -- why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent Mall, and why a man whose father less than 60 years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:

"Let it be told to the future world ... that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive... that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."

America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested, we refused to let this journey end, that we did not turn back, nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

0

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza) (Composed by Michael Heart)


A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
0

Karena




Karena kita adalah kita

karena saya adalah saya

dan karena kamu adalah kamu

karena kita semua ini manusia

karena kita tinggal di dunia

karena dunia sedang banyak masalah

karena di gaza ada perang

karena karena di SULBAR ada banjir

karena kelaparan dimana-mana

karena kita sudah punya niat

karena kita bisa berfikir

karena kita punya tenaga

jadi, Apa yang telah kita buat ?

apa yang akan kita buat?

apa yang telah kita rencanakan?

mulailah mencari jawaban, tapi jangan terlalu lama

karena hidup bukan hanya sekedar untuk dilanjutkan.....
0

PENEGAKAN HAM, KEDAULATAN NEGARA DAN INTERVENSI KEMANUSIAAN.


Mulai dari pembasmian etnis dieropa timur, aksi represif militer terhadap warga sipil di Myanmar, konflik Israel palestina ditimur tengah sampai dengan konflik etnis dan kelaparan di afrika, tragedy-tragedi tersebut sungguh menjadi pokok bahasan masyarakat dunia yang masih terus berharap akan terciptanya dunia yang damai. Meskipun dengan penyebab dan karakteristik konflik yang berbeda, tetapi harus diakui bahwa hal tersebut betul-betul bertolak belakang dengan Konsepsi dasar dalam pokok bahasan hak asasi manusia yaitu 1“semua umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam martabat dan hak-hak asasi, mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani serta semestinya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan”(deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia, pasal 1), adanya masalah-masalah kemanusiaan secara langsung mengundang perhatian dunia internasional untuk turut serta dalam upaya penyelesaiaanya. Lalu bagaimana kita menerjemahkan dan memaknai hal ini ketika menghubungkannya dengan masalah kedaulatan Negara, dan kaitannya dengan intervensi kemanusiaan?

Hak asasi manusia biasanya dianggap sebagai hak yang dimilki setiap manusia, yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia, tidak peduli pada klasifikasi bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Penghormatan akan hak asasi manusia adalah hal yang dianggap sangat mendasar, selain karena itu adalah hal yang memang dan wajib untuk dihormati selain itu juga karena penghormatan akan hak asasi manusia ini adalah salah satu solusi yang dianggap ampuh dalam menjaga perdamaian dunia apabila terlaksana secara total dan menyeluruh. Seperti yang dikemukakan presiden Wilson dalam visinya “membuat dunia aman bagi demokarsi”, terlihat dalam salah satu kalimat dalam pidatonya di kongres ketika meminta pernyataan perang, 2“kita tidak ingin menaklukkan, tidak ingin menguasai. Kita tidak mencari ganti rugi bagi kita sendiri, tidak mencari kompensasi material bagi pengorbanan yang kita buat secara bebas. Kita adalah satu-satunya pemenang hak asasi manusia. Kita akan puas ketika hak-hak tersebut dijaga dengan aman, sama seperti keyakinan dan kebebasan yang dapat diciptakan oleh bangsa-bangsa”. Sebuah konsep yang kemudian menjadi pokok pembahasan penting pada konferensi bangsa-bangsa pada pembuatan liga bangsa-bangsa.

HAM dan kedaulatan negara?

Dalam upaya penegakan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan Negara dan kedaulatan, Setidaknya ada dua hal yang membuat isu penegakan ham ini sulit untuk mendapat legitimasi secara universal, yang pertama yaitu upaya tersebut sering mendapat tantangan yang tegas terhadap asumsi-asumsi statis , yaitu yang berkaitan dengan Negara dan kedaulatannya, hal ini terjadi karena pada dasarnya upaya tersebut mengisyaratkan kedaulatan bagi manusia secara individual, bahkan kehadiran Negara hanya untuk melindungi hak tersebut seperti yang diungkapkan koffi annan 3“Konsep 'kedaulatan negara', kini sedang mengalami pendefinisian ulang –bukan lagi semata-mata karena kekuatan globalisasi dan kerja sama internasional.

Negara, kini mulai dipahami sebagai alat untuk melayani rakyatnya, bukan sebaliknya, sehingga terkadang muncul beberapa masalah yang berkaitan dengan hak-hak pemerintah untuk mengatur negaranya terutama yang berkaitan dengan hak kekerasan yang dimiliki oleh Negara, meskipun hal tersebut adalah jelas baik secara konseptual maupun administratif masih tetap saja ada pihak yang menyebutnya pelanggaran oleh negara. Sementara secara riil hal ini belum dipahami dan disepakati secara universal, yang kedua yaitu penetapan nilai-nilai universal itu secara tak terhindarkan menuntut kesepakatan akan nilai-nilai khusus yang terkait dengan usaha mensejahterakan manusia, hal tersebut agak sulit dicapai didalam dunia dimana terdapat banyak ideology dan masing-masing memiliki perspektif berbeda dalam melihat usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahtraan bagi manusia. Perbedaan idiologi tersebut tentu sangat berpengaruh karena dianggap sebagai dasar berfikir sehingga dalam konteks Negara hal tersebut diterjemahkan langsung dalam regulasi dan pembuatan kebijakan pemerintah Negara yang bersangkutan, dari regulasi tersebut dapat kita lihat gambaran methodology yang digunakan untuk mensejatherakan rakyatnya, dan dari methodology-methodologi tersebut dapat kita lihat bagaimana sebuah Negara melihat dan atau memperlakukan rakyatnya, sedangkan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah dapat kita lihat prioritasnya dalam hal ini bidang atau hal-hal apa saja yang menjadi prioritas sebuah Negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal penting yang perlu digaris bawahi dan mendapat perhatian lebih dalam melihat masalah diatas adalah terkadang sebuah idiologi atau pahaman dasar dalam menjalankan sebuah negara telah melihat semua hal telah ada dalam satu paket sehingga ketika ingin mengintegrasikan sebuah pahaman harus ada yang melemah karena apabila dipaksakan maka akan sulit bertemu dan sangat memungkinkan hanya berkembang menjadi perdebatan inter-paradigm.

Fenomena intervensi kemanusiaan?

Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut sebaiknya kita memperhatikan beberapa pandangan tentang intervensi kemanusiaan tersebut. Menurut Teson 4ada beberapa hal yang dianggap lazim dalam kebiasaan internasional mengenai intervensi kemanusiaan. Pertama; penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Kedua; ada alasan kemanusian yang digunakan sebagai justifikasi penggunaan kekuatan bersenjata. Dari pengertian tersebut di atas kiranya dapat ditarik beberapa kesamaan bahwa intervensi biasanya melanggar kedaulatan negara tertentu, selain itu tindakan intervensi biasanya menggunakan ancaman atau kekuatan. Sedangkan dalam definisi intervensi kemanusiaan kemudian ditambahkan alasan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena adanya sebuah perlakuan kejahatan negara atas penduduknya. Tetapi selain acuan dari Teson, koffi annan justru mengingatkan bahwa 5“ 'intervensi' sebaiknya tidak dimengerti melulu sebagai penggunaan kekuatan bersenjata. Ironi tragis dari berbagai krisis dunia yang kini terjadi tanpa banyak disoroti, adalah bahwa kebanyakan konflik itu bisa ditangani tanpa intervensi berbahaya, dibandingkan yang kita lihat di Yugoslavia. Di samping itu, sebetulnya, komitmen dunia untuk menjaga perdamaian, membantu masalah-masalah kemanusiaan, melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, bentuknya amat beragam, dari wilayah ke wilayah, dari krisis ke krisis. Bila komitmen pada kemanusiaan ingin memperoleh dukungan masyarakat dunia, hal itu haruslah benar-benar universal, tanpa membedakan wilayah dan negara.

Intervensi kemanuasiaan merupakan salah satu alasan yang biasa digunakan oleh negara-negara atau organisasi internasional dalam melakukan upaya-upaya penegakan hak asasi manusia atau memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan kepada negara-negara yang dianggap membutuhkan, dalam pelaksanaannya ada beberapa perdebatan dalam pelaksanaanya. Perdebatan paling mendasar dalam pelaksanaannya yaitu apakah dalam melakukan aktivitas intervensi kemanusiaan membutuhkan persetujuaan atau izin dari otoritas dari negara yang bersangkutan atau tidak. Dalam menjawab pertanyaan ini contoh kasus yang cocok diangkat adalah kasus Myanmar. Beberapa waktu yang lalu kita ketahui ada benturan antara masyarakat Myanmar dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Berbagai negara dan organisasi internasional mengecam tindakan represif dari pemerintah Myanmar terhadap demonstran yang notabene adalah rakyatnya sendiri. Berbagai upaya kemudiaan dilakukan oleh PBB dan beberapa negara dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut, diantaranya yaitu Amerika Serikat yang paling keras bersuara tentang masalah ini melakukan pembekuan terhadap asset-aset pemerintah Myanmar di amerika serikat. Selain itu PBB bahkan mengirimkan utusan ke Myanmar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tapi upaya-upaya tersebut selalu terpental karena pemerintah Myanmar sendiri belum memberi respon positif terhadap upaya tersebut. Pertanyaannya sekarang bagaimana apabila negara-negara seperti amerika serikat atas nama penegakan HAM melakukan intervensi kemanusiaan dalam tingkatan yang lebih tinggi seperti yang dilakukannya di irak dengan melakukan invasi untuk menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa dengan asumsi menyelamatkan rakyat Myanmar? Apakah itu legal atau tidak? Yang jelas hal itu sudah pernah terjadi dalam kasus irak, dan hal ini sekali lagi akan membuktikan bahwa intervensi kemanusiaan tidak dapat dilakukan oleh semua negara atau hanya bisa dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kapabilitas lebih dari yang lain. Sehingga intervensi kemanusiaan inipun bukan solusi sempurna bagi penyelesaian masalah HAM, dan penegakan hukum internasional masih harus lebih diutamakan ketimbang intervensi kemanusiaan. Karena sesungguhnya hokum internasional tidak bisa berjalan efektif bukan semata-mata karena masalah kedaulatan negara tapi masalah sebenarnya adalah kesenjangan kapabilitas antara negara-negara tersebut yang kemudiaan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kapabilitas lebih untuk mencapai tujuannya tanpa memperhatikan hukum-hukum internasional tersebut.

Penegakan hak asasi manusia , terlebih dahulu harus mendapat defenisi yang bisa dipahami secara universal dan kemudiaan dituangkan kedalam hukum internasional yang mengikat. Sehingga tidak lagi terlalu banyak benturan dengan kedaulatan negara. Dan ketika hukum tersebut dapat dipahami, diterjemahkan dan dilaksanakan secara universal maka intervensi kemanusiaan dalam hal ini penggunaan kekerasan tidak dibutuhkan lagi.(sepertinya sulit, tapi tetaplah bermimpi)

Sumber Bacaan:

1. Lynn H. Miller, agenda politik internasioanal, hal 378,pustaka pelajar .2006, yogyakarta.

2. Robert Jackson & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,hal 48, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005.

3. kofi annan : Dilema Intervensi kemanusiaan, dikutip dari www.mail archive.com/ siarlist@minipostgresql.org

4. Eric Adjei, The Legalitiy of Humanitarian Intervention, Tesis, University of Georgia, 2005, hlm. 8., dikutip dari http://senandikahukum.blogspot.com/2008_04_01_archive.html

5. kofi annan : Dilema Intervensi kemanusiaan, dikutip dari www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org

Indonesia VS Australia (Analisis Peran Media)


Dekat namun kontras dalam segala hal, kalimat ini mungkin cocok untuk menggambarkan Indonesia dan Australia. Dua Negara ini secara geografis bertetangga , namun memilikiperbedaan yang begitu besar hamper dalam segala hal. Hal ini dapat terlihat jelas ketika kita membandingkan latar belakang social budaya kedua Negara. Secara kasat mata , Australia dalam banyak hal lebih mirip dengan Negara-negara eropa. Jadi , terlihat seperti salah satu Negara eropa yang ada di asia. Dalam hal perekonomian, yang biasa dijadikan tolak ukur kesejahteraan suatu Negara, Indonesia juga masih tertinggal dari Negara tetangganya tersebut.Mungkin kesenjangan-kesenjangan dalam banyak hal itulah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya masalah bilateral antara kedua Negara tersebut, meskipun juga harus diakuijumlah kerjasama dalam berbagai bidang yang melibatkan kedua Negara ini jauh lebih banyak.
Dibalik begitu banyak perbedaan, sebenarnya ada hal mendasar yang sama antara Indonesia dan Australia, hal tersebut adalah kesamaan pahaman membangun Negara melalui proses demokrasi. Indonesia dan Australia merupakan “Negara partner” Amerika Serikat dalam hal demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia. Dari persamaan tersebut ada sebuah kecenderungan yang bisa kita tangkap yaitu dalam hal kebebasan pers. Kebebasan pers merpakan salah satu pilar penopang utama dalam keberlangsungan sebuah Negara demokrasi. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini kedua Negara telah memberikan kebebasan yang begitu luas kepada kehidupan pers dinegaranya masing-masing. Hal ini membuat ruang lingkup pemberitaan kedua Negara bukan hanya meliput berita dalam negeri mereka masing-masing tapi juga meliput fenomena-fenomena yang berkembang di luar Negara mereka.

Tapi ada hal yang menarik yang dapat kita lihat dalam proses pemberitaan pers Australia tentang Indonesia yang “dianggap” kontroversial. Pemberitaan yang kemudiaan mendapat tanggapan beragam oleh public Indonesia. Pemberitaan yang sedikit banyaknya diproyeksikan dapat mengganggu hubungan bilateral kedua Negara. Berdasarkan fenomena-fenomena diatas menarik untuk kita membahas dan menganalisa lebih lanjut masalah-masalah antara kedua Negara yang menjadi pusat perhatian atau pemberitaan pers Australia dan atau masalah-masalah baru yang muncul karena pemberitaan-pemberitaan tersebut. Selain itu juga harus diperhatikan tanggapan media,masyarakat,dan pemerintah Indonesia serta membahas bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan bilateral kedua Negara.
Sebelum menganalisa lebih jau tentang pengaruh pers Australia terhadap hubungan bilateral Indonesia- Australia terlebih dahulu kita melihat bagaimana media massa secara umum, perekmbangannya dan bagaimana media massa seharusnya. Dalam dunia yang semakin majemuk hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya, maka ketidakmampuan untuk berkomunikasi adalah sebuah penghalang besar bagi pemenuhan kebutuhan atau upaya pencapaian kepentingan. Negara atau aktor non-negara, akan mengalami kesulitan yang mendasar apabila tidak mempunyai kapabilitas untuk melekukan komunikasi dengan baik. Globalisasi muncul dan berkembang oleh sarana-sarana komunikasi media. Saat ini tidak dapat disangkal bahwa pertukaran informasi yang merupakan salah satu substansi dasar hadirnya media telah menjadi kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan sosial masyarakat dunia.
Revousi teknologi perkomunikasian menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab media massa menjadi penghubung berbagai aktor-aktor dalam hubungan internasional melalui pemberitaan realitas atau fenomena yang diberitakannya. Produk dari media massa tersebut akan mendapat umpan balik yang baik secara langsung atau tidak langsung,sedikit atau banyak akan berpengaruh pada peristiwa berikutnya. Dalam melaksanakan perannya secara perlahan ikut mempengaruhi proses terbentuknya sebuah kebijakan melalui kekuatan opini publik yang dibentuknya. Hal inilah yang menmbuat peran media semakin meluas atau bukan tidak mungkin menjadi determinan dalam proses terbentuknya sebuah kebijakan.

Seiring perkembangan dunia yang begitu cepat maka semakin besar pula tantangan setiap aktor dalam ilmu hubungan internasional dalam mencapai kepentingannya, hal ini membuat media sebagai salah satu elemen pentiung dalam upaya pencapaian kepentingan tersebut harus independen dan berjalan sesuai dengan fungsinya, secara normatif fungsi media dapat digambarkan sebagai berikut :
Media seharusnya memberi informasi kepada publik tentang apa yang terjadi disekitar mereka secara objektif.

Memberikan pendidikan berdasarkan makna dan signifikansi dari data yang ada.
Media mampu memberikan ruang publik bagi masyarakat guna mendiskusikan isu-isu yang berkembang dan dianggap gawat. Memfasilitasi terjadinya pendapat umum. Memberikan ruang untuk publisitas kepada lembaga-lembaga pemerintah dan kehidupan politik.

Memberikan layanan advokatif bagi pandangan-pandangan politik yang bebeda terutama yang berada diluar arus utama seperti kelompok minoritas dan yang termarjinalisasi. Setelah kita mengetahui bagaimana media massa seharusnya, sekarang kita bahas secara lebih mendetail tentang pengaruh media Australia terhadap hubungan bilateral Indonesia- Australia. Secara umum isu-isu yang menjadi pusat perhatian media Australia adalah sebagai berikut kasus penyelundupan obat terlarang yang melibatkan warga Negara Australia, kasus terrorisme yang meliputi bom bali 1,bom bali 2, dan bom didepan kedutaan besar Australia, kasus terbunuhnya 6 wartawan di Balibo dan Dili, serta kasus Papua.

Mengenai kasus penyelundupan obat terlarang, setidaknya ada dua kasus yang mendapat perhatian besar dari media massa Australia yaitu kasus Bali Nine dan kasus tertangkapnya seorang model asal Australia, Schapelle Corby di bandara ngurah rai bali karena membawa 4,1 kg mariyuana. Kasus ini sempat menjadi pembicaraan hangat di masyarakat Australia dan menjadi headline dibeberapa media massa Australia. Kasus yang kemudiaan berakhir dengan hukuman penjara 20 tahun bagi Corby. Dalam meliput kasus ini media Australia mengkritik peradilan Indonesia yang dianggap tidak proporsional karena corby dituntut dengan hukuman seumur hidup. Artikel di halaman muka Harian Daily Telegraph, Sydney, misalnya, menulis besar-besar Suffering in Silence pada berita utama. Pada artikel itu ditulis: "Corby kehilangan suaranya yang telah terkuras oleh penderitaan." Selain itu juga diperbandingkan dengan kasus Ba’asyir.

Pemberitaan media Australia tentang kasus ini mendapat respon dari masyarakat Australia, masyarakat Australia kemudiaan memberikan simpati yang begitu besar kepada Corby dan keluarganya, tetapi tidak semua orangyang bersimpati kepada Corby menunjukkan simpatinya dengan cara yang wajar, hal ini terbukti dengan adanya surat ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada kedutaan besar Indonesia di Australia, peristiwa yang langsung ditanggapi oleh pemerintah Australia dengan peningkatan penjagaan keamanan di kedutaan besar Indonesia. Insiden ini juga mendapat tanggapan dari pemimpin oposisi pada saat itu yaitu Kevin Rudd, dia mengatakan bahwa “ancaman tersebut sungguh mengganggu saya”. Kecaman yang dilontarkan oleh media Australia ditanggapi dengan dingin oleh pemerintah Indonesia dengan mengataan peradilan Indonesia independent. Reaksi berbeda ditunjukkan oleh beberapa anggota Dewan Prewakilan Rakyat Indonesia diantaranya oleh Maria Pakpahan dari fraksi PKB, dia mengatakan hal tersebut sebagai bentuk ketidakdewasaan.

Kasus lain yaitu kasus tewasnya 5 wartawan Australia yang menjadi saksi perjanjian balibo ketika proses pengintegrasian timor timur ke Indonesia. Meskipun secara resmi kasus ini telah ditutup oleh pemerintah Indonesia,tetapi hal sebaliknya justru terjadi di Australia, kasus ini justru masih sedang ditangani oleh otoritas hukum di Negara bagian New South Wales. Media massa Australia secara konsisten terus memberitakan perkembangan kasus ini dan mereka tetap berpendapat bahwa yang paling bertanggung jawab atas tewasnya 6 wartawan tersebut adalah tentara nasional Indonesia. Entah asumsi media massa tersebut adalah sebuah kebenaran atau hanya sekedar asumsi, yang jelas pemberitaan yang konsisten tersebut telah menjadi opini dari publik Australia.
Kasus yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang terstruktur oleh pers Australia ini dalam proses penyelesaiannya mendapat perhatian oleh parlemen Australia, hal ini terbukti dengan diagendakannya masalah ini untuk dibahas di arlemen Australia. Sedangkan keputusan Indonesia untuk menutup kasus ini sama sekali tidak terpengaruh oleh pemberitaan-pemberitaan tentang kasus ini. Sementara itu Pemerintah Australia berpendapat kasus ini belum selesai,ini dibuktikan dengan dibentuknya tim untuk menyelediki kasus ini dan dipimpin oleh Tom Sherman. Hal yang sama juga tergambarkan dengan jelas melalui komentar Alexander Downer yang mengatakan "pemerintah Australia belum menuntup buku terhadap kasus ini." Ia juga menyebutkan, Australia mungkin akan menindaklanjuti temuan Sherman. Ketika proses hukum kasus ini tetap berjalan ini di peradilan Australia, masalah baru kemudiaan muncul ketika Sutiyoso, yang datang ke Australia sebagai gubernur Jakarta, ditangkap secara paksa untuk diminta kesaksiannya seputar kasus ini. Insiden yang kemudiaan berujung permintaan maaf oleh pemerintah Australia.

Berikutnya adalah kasus yang berhubungan dengan masalah terorisme, setidaknya ada tiga tindakan terrorisme yang melibatkan kedua Negara sebagai korban didalamnya dan semua tindak terror tersebut trjadi di Indonesia. Kasus-kasus tersebut adalah Bom Bali I, Bom Bali II, dan Bom didepan Kedutaan Besar Australia. Dalam tindak terror ini korban terbesar adlah warga Negara Australia, hal yang kemudiaan berakibat dikeluarkannya travel warning ke Indonesia oleh pemerintah Australia. Dalam kasus ini, media Australia benar-benar meliputunya secara mendetail, media massa Australia tidak hanya meliput ketika peristiwa itu terjadi, tetapi terus meliput proses hukum mengenai kasus ini, mulai dari penetapan tersangka, pengejaran sampai dengan persidangan untuk para tersangka.
Mengenai kasus ini media Australia mengkritisi kinerja intelejen dan kepolisian Indonesia yang dinilai lamban dalam bekerja. Kritikan inipun tidak mendapat tanggapan berarti oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia menjawab kritikan tersebut dengan diplomatis ”kami akan melakukan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah ini”. Seiring pemberitaan media Australia tentang keamanan Indonesia, pemerintah kedua Negara justru melakukan langka positif dengan melakukan kerjasama dibidang pertahanan pada tahun 2006 di Lombok, kerjasama yang lebih kita kenal dengan “Lombok Treaty”.

Masalah berikutnya yang menjadi pusat perhatian media Australia adalah masalah Papua. Papua yang merupakan salah satu provinsi dari Indonesia, pernah mengalami gejolak dengan adanya isu separatisme. Organisasi papua merdeka (OPM) yang mengatas namakan masyarakat Papua melakukan usaha-usaha untuk melepaskan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Masalah ini kemudiaan dibahas oleh media-media Australia dengan pokok pembicaraan utamanya yaitu diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pemberitaan-pemberitaan tersebut dinilai oleh pemerintah Indonesia sebagai pemberitaan yang tidak berimbang, hal ini diungkapkan langsung oleh duta besar Indonesia untuk Australia, Hamzah Thayeb mengatakan bahwa "Makanya saya sering katakan kepada mereka (Pers Australia), kalau terus menerus memberitakan hal-hal yang tidak benar tentang Papua, jelas akan mempengaruhi hubungan Australia dan Indonesia yang saat ini sudah berjalan bagus. Sebab jujur saja, sampai saat ini masih ada wartawan Australia yang menulis berita untuk kepentingan propaganda mereka (Papua Merdeka),". Tapi pernyataan tersebut sama sekali tidak menghentikan langkah pers australia untuk terus mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia mengenai Papua.

Masalah ini kemudiaan menghangat ketika secra sephak pihak imigrasi Australia memberikan visa tinggal kepada pencari suaka asal papua. Masalah yang kemudiaan langsung mendapat respon dari pemerintah Indonesia melalui depatemen luar negeri dengan yang menyebutkan poin-poin penting yang harus diperhatikan Australia dalam peristiwa ini, poin-poin tersebut adalah sebagai berikut :


1. Pemerintah Indonesia terkejut, kecewa dan sangat menyesalkan keputusan Departemen Imigrasi Australia (DIMA) yang pada tanggal 23 Maret 2006 telah memberikan visa tinggal sementara kepada 42 dari 43 WNI warga Papua pencari suaka.

2. Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah Indonesia pada level tertinggi telah memberikan penegasan bahwa tidak satupun dari ke-43 warga Papua tersebut, untuk alasan apapun, merupakan orang-orang yang tengah dikejar oleh aparat; mereka juga bukan orang-orang yang tengah mengalami ancaman atau tuntutan. Pemerintah Indonesia bahkan telah menjamin keselamatan 43 warga Papua tersebut apabila mereka kembali ke Indonesia. Keputusan DIMA, oleh karena itu, sama sekali tidak memiliki dasar hukum apapun.

3. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa 43 warga Papua tersebut tidak lebih dari sekedar migran ekonomi yang mencari kehidupan baru yang lebih baik. Indonesia menyesalkan bahwa klaim tanpa dasar yang diajukan oleh para pencari suaka tersebut telah diterima sebagai alasan pemberian visa tinggal sementara oleh Departemen Imigrasi Australia.

4. Dalam pandangan kami, keputusan pemberian visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua tersebut merupakan preseden yang kontra-produktif yang sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitifitas rakyat Indonesia terhadap isu ini. Keputusan itu juga tidak membantu berbagai upaya serius yang saat ini tengah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua melalui dialog. Keputusan itu juga seolah membenarkan spekulasi bahwa ada elemen-elemen di Australia yang membantu gerakan separatisme di Papua dan Pemerintah Australia tidak melakukan tindakan apapun terhadap mereka.

5. Pemerintah Indonesia menengarai adanya penerapan standar ganda oleh Pemerintah Australia dalam kasus pemberian visa tinggal sementara kepada warga Papua ini. Pada banyak kasus sejenis lainnya akhir-akhir ini, Pemerintah Australia secara keras dan kaku telah menolak permintaan para pencari suaka. Praktek seperti itu sangat berbeda dengan perlakuan terhadap 42 warga Papua pencari suaka dimana permohonan mereka dikabulkan secara tergesa-gesa dan gegabah.

6. Keputusan Departemen Imigrasi Australia tersebut bertentangan dengan semangat kerjasama bilateral, khususnya dalam hal mencegah migran gelap dimana kedua negara selama ini telah berupaya dengan keras untuk mewujudkannya. Kebijakan Pemerintah Australia ini hanya akan memperlemah komitmen negara-negara pihak dalam kerjasama pencegahan migran gelap.

7. Departemen Luar Negeri RI telah memanggil Dubes Australia di Jakarta pada hari Kamis siang ini tanggal 23 Maret 2006 guna menyampaikan protes dan sikap kecewa Indonesia.
Ditengah memanasnya hubungan bilateral antara kedua Negara, pers Australia justru membuat kontroversi baru dengan memuat karikatur yang memberikan ilustrasi tentang presiden yudhoyono sedang menunggangi seorang warga Papua, pemberitaan yang kemudiaan menuai banyak protes dari kalangan masyarakat Indonesia, serta lembaga-lembaga tinggi Negara Indonesia. Di kalangan DPR RI bahkan muncul keinginan untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatic dengan Australia. Sementara media massa Indonesia kemudiaan membalas dengan cara yang sama yaitu menghujat Howard dan Downer melalui karikatur.

Hal yang juga ditanggapi oleh presiden yudhoyono, melalui pidatonya dia mengatakan bahwa” Karikatur semacam itu, disamping tidak senonoh, cenderung agitatif, destruktif, dan bisa membangkitkan emosi rakyat”. Tetapi dalam dua kali pidatonya mengenai masalah ini presiden yudhoyono memilih untuk bersikap lebih bijak dengan menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk menahan diri.
Setelah melihat kasus-kasus yang ada diatas ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan mengenai pengaruh media massa Australia terhadap hubungan bilateral Indonesia- Australia, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Methode atau cara yang dilakukan oleh media Australia dalam upaya mencapai tujuannya yaitu dengan penggalangan opini public, yang kemudiaan menjadi penekan bagi pemerintah atau masyarakat dunia dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berhungan dengan pemberitaan tersebut.

2. Dalam beberapa kasus terutama yang melibatkan warga Negara Australia di Indonesia, media massa Australia berusaha untuk memberikan advokasi kepada warganya, meskipun terkadang dalam upaya advokasi tersebut media massa Australia banyak melakukan kritik kepada pemerintah Indonesia dan terkesan menunjukkan rasa tidak percayanya kepada pemerintah Indonesia.

3. Kecenderungan lain yang bisa kita tangkap yaitu sebagian besar isu yang diangkat yaitu mengenai isu pelanggaran HAM, dan media Australia memposisikan diri sebagai pihak yang tidak setuju dengan hal itu dan berusaha untuk melakukan upaya-upaya advokasi tanpa memperdulikan batas Negara karena isu ini dianggap isu kemanusiaan. meskipun terkadang dengan cara yang dianggap berlebihan oleh pemerintah Indonesia dan dianggap tidak menghormati kedaulatan NKRI.

4. Dalam menanggapi pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh media Australia, pemerintah kedua Negara cenderung bersikap lebih hati-hati, tapi hal yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat dan perwakilan rakyat Indonesia yang cenderung reaksioner dalam menanggapinya.

5. Dalam beberapa kasus media Australia bukanlah penyebab munculnya ketengangan antara kedua Negara, tetapi terkadang dianggap pemerintah Indonesia memperburuk suasana.

6. Secara umum pemberitaan pers Australia meskipun berpengaruh tetapi tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi hubungan bilateral kedua Negara. Karena pemerintah kedua Negara menganggap media Australia bukanlah representasi dari pemerintahan kedua Negara.

Back to Top