Indonesia VS Australia (Analisis Peran Media)


Dekat namun kontras dalam segala hal, kalimat ini mungkin cocok untuk menggambarkan Indonesia dan Australia. Dua Negara ini secara geografis bertetangga , namun memilikiperbedaan yang begitu besar hamper dalam segala hal. Hal ini dapat terlihat jelas ketika kita membandingkan latar belakang social budaya kedua Negara. Secara kasat mata , Australia dalam banyak hal lebih mirip dengan Negara-negara eropa. Jadi , terlihat seperti salah satu Negara eropa yang ada di asia. Dalam hal perekonomian, yang biasa dijadikan tolak ukur kesejahteraan suatu Negara, Indonesia juga masih tertinggal dari Negara tetangganya tersebut.Mungkin kesenjangan-kesenjangan dalam banyak hal itulah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya masalah bilateral antara kedua Negara tersebut, meskipun juga harus diakuijumlah kerjasama dalam berbagai bidang yang melibatkan kedua Negara ini jauh lebih banyak.
Dibalik begitu banyak perbedaan, sebenarnya ada hal mendasar yang sama antara Indonesia dan Australia, hal tersebut adalah kesamaan pahaman membangun Negara melalui proses demokrasi. Indonesia dan Australia merupakan “Negara partner” Amerika Serikat dalam hal demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia. Dari persamaan tersebut ada sebuah kecenderungan yang bisa kita tangkap yaitu dalam hal kebebasan pers. Kebebasan pers merpakan salah satu pilar penopang utama dalam keberlangsungan sebuah Negara demokrasi. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini kedua Negara telah memberikan kebebasan yang begitu luas kepada kehidupan pers dinegaranya masing-masing. Hal ini membuat ruang lingkup pemberitaan kedua Negara bukan hanya meliput berita dalam negeri mereka masing-masing tapi juga meliput fenomena-fenomena yang berkembang di luar Negara mereka.

Tapi ada hal yang menarik yang dapat kita lihat dalam proses pemberitaan pers Australia tentang Indonesia yang “dianggap” kontroversial. Pemberitaan yang kemudiaan mendapat tanggapan beragam oleh public Indonesia. Pemberitaan yang sedikit banyaknya diproyeksikan dapat mengganggu hubungan bilateral kedua Negara. Berdasarkan fenomena-fenomena diatas menarik untuk kita membahas dan menganalisa lebih lanjut masalah-masalah antara kedua Negara yang menjadi pusat perhatian atau pemberitaan pers Australia dan atau masalah-masalah baru yang muncul karena pemberitaan-pemberitaan tersebut. Selain itu juga harus diperhatikan tanggapan media,masyarakat,dan pemerintah Indonesia serta membahas bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan bilateral kedua Negara.
Sebelum menganalisa lebih jau tentang pengaruh pers Australia terhadap hubungan bilateral Indonesia- Australia terlebih dahulu kita melihat bagaimana media massa secara umum, perekmbangannya dan bagaimana media massa seharusnya. Dalam dunia yang semakin majemuk hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya, maka ketidakmampuan untuk berkomunikasi adalah sebuah penghalang besar bagi pemenuhan kebutuhan atau upaya pencapaian kepentingan. Negara atau aktor non-negara, akan mengalami kesulitan yang mendasar apabila tidak mempunyai kapabilitas untuk melekukan komunikasi dengan baik. Globalisasi muncul dan berkembang oleh sarana-sarana komunikasi media. Saat ini tidak dapat disangkal bahwa pertukaran informasi yang merupakan salah satu substansi dasar hadirnya media telah menjadi kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan sosial masyarakat dunia.
Revousi teknologi perkomunikasian menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab media massa menjadi penghubung berbagai aktor-aktor dalam hubungan internasional melalui pemberitaan realitas atau fenomena yang diberitakannya. Produk dari media massa tersebut akan mendapat umpan balik yang baik secara langsung atau tidak langsung,sedikit atau banyak akan berpengaruh pada peristiwa berikutnya. Dalam melaksanakan perannya secara perlahan ikut mempengaruhi proses terbentuknya sebuah kebijakan melalui kekuatan opini publik yang dibentuknya. Hal inilah yang menmbuat peran media semakin meluas atau bukan tidak mungkin menjadi determinan dalam proses terbentuknya sebuah kebijakan.

Seiring perkembangan dunia yang begitu cepat maka semakin besar pula tantangan setiap aktor dalam ilmu hubungan internasional dalam mencapai kepentingannya, hal ini membuat media sebagai salah satu elemen pentiung dalam upaya pencapaian kepentingan tersebut harus independen dan berjalan sesuai dengan fungsinya, secara normatif fungsi media dapat digambarkan sebagai berikut :
Media seharusnya memberi informasi kepada publik tentang apa yang terjadi disekitar mereka secara objektif.

Memberikan pendidikan berdasarkan makna dan signifikansi dari data yang ada.
Media mampu memberikan ruang publik bagi masyarakat guna mendiskusikan isu-isu yang berkembang dan dianggap gawat. Memfasilitasi terjadinya pendapat umum. Memberikan ruang untuk publisitas kepada lembaga-lembaga pemerintah dan kehidupan politik.

Memberikan layanan advokatif bagi pandangan-pandangan politik yang bebeda terutama yang berada diluar arus utama seperti kelompok minoritas dan yang termarjinalisasi. Setelah kita mengetahui bagaimana media massa seharusnya, sekarang kita bahas secara lebih mendetail tentang pengaruh media Australia terhadap hubungan bilateral Indonesia- Australia. Secara umum isu-isu yang menjadi pusat perhatian media Australia adalah sebagai berikut kasus penyelundupan obat terlarang yang melibatkan warga Negara Australia, kasus terrorisme yang meliputi bom bali 1,bom bali 2, dan bom didepan kedutaan besar Australia, kasus terbunuhnya 6 wartawan di Balibo dan Dili, serta kasus Papua.

Mengenai kasus penyelundupan obat terlarang, setidaknya ada dua kasus yang mendapat perhatian besar dari media massa Australia yaitu kasus Bali Nine dan kasus tertangkapnya seorang model asal Australia, Schapelle Corby di bandara ngurah rai bali karena membawa 4,1 kg mariyuana. Kasus ini sempat menjadi pembicaraan hangat di masyarakat Australia dan menjadi headline dibeberapa media massa Australia. Kasus yang kemudiaan berakhir dengan hukuman penjara 20 tahun bagi Corby. Dalam meliput kasus ini media Australia mengkritik peradilan Indonesia yang dianggap tidak proporsional karena corby dituntut dengan hukuman seumur hidup. Artikel di halaman muka Harian Daily Telegraph, Sydney, misalnya, menulis besar-besar Suffering in Silence pada berita utama. Pada artikel itu ditulis: "Corby kehilangan suaranya yang telah terkuras oleh penderitaan." Selain itu juga diperbandingkan dengan kasus Ba’asyir.

Pemberitaan media Australia tentang kasus ini mendapat respon dari masyarakat Australia, masyarakat Australia kemudiaan memberikan simpati yang begitu besar kepada Corby dan keluarganya, tetapi tidak semua orangyang bersimpati kepada Corby menunjukkan simpatinya dengan cara yang wajar, hal ini terbukti dengan adanya surat ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada kedutaan besar Indonesia di Australia, peristiwa yang langsung ditanggapi oleh pemerintah Australia dengan peningkatan penjagaan keamanan di kedutaan besar Indonesia. Insiden ini juga mendapat tanggapan dari pemimpin oposisi pada saat itu yaitu Kevin Rudd, dia mengatakan bahwa “ancaman tersebut sungguh mengganggu saya”. Kecaman yang dilontarkan oleh media Australia ditanggapi dengan dingin oleh pemerintah Indonesia dengan mengataan peradilan Indonesia independent. Reaksi berbeda ditunjukkan oleh beberapa anggota Dewan Prewakilan Rakyat Indonesia diantaranya oleh Maria Pakpahan dari fraksi PKB, dia mengatakan hal tersebut sebagai bentuk ketidakdewasaan.

Kasus lain yaitu kasus tewasnya 5 wartawan Australia yang menjadi saksi perjanjian balibo ketika proses pengintegrasian timor timur ke Indonesia. Meskipun secara resmi kasus ini telah ditutup oleh pemerintah Indonesia,tetapi hal sebaliknya justru terjadi di Australia, kasus ini justru masih sedang ditangani oleh otoritas hukum di Negara bagian New South Wales. Media massa Australia secara konsisten terus memberitakan perkembangan kasus ini dan mereka tetap berpendapat bahwa yang paling bertanggung jawab atas tewasnya 6 wartawan tersebut adalah tentara nasional Indonesia. Entah asumsi media massa tersebut adalah sebuah kebenaran atau hanya sekedar asumsi, yang jelas pemberitaan yang konsisten tersebut telah menjadi opini dari publik Australia.
Kasus yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang terstruktur oleh pers Australia ini dalam proses penyelesaiannya mendapat perhatian oleh parlemen Australia, hal ini terbukti dengan diagendakannya masalah ini untuk dibahas di arlemen Australia. Sedangkan keputusan Indonesia untuk menutup kasus ini sama sekali tidak terpengaruh oleh pemberitaan-pemberitaan tentang kasus ini. Sementara itu Pemerintah Australia berpendapat kasus ini belum selesai,ini dibuktikan dengan dibentuknya tim untuk menyelediki kasus ini dan dipimpin oleh Tom Sherman. Hal yang sama juga tergambarkan dengan jelas melalui komentar Alexander Downer yang mengatakan "pemerintah Australia belum menuntup buku terhadap kasus ini." Ia juga menyebutkan, Australia mungkin akan menindaklanjuti temuan Sherman. Ketika proses hukum kasus ini tetap berjalan ini di peradilan Australia, masalah baru kemudiaan muncul ketika Sutiyoso, yang datang ke Australia sebagai gubernur Jakarta, ditangkap secara paksa untuk diminta kesaksiannya seputar kasus ini. Insiden yang kemudiaan berujung permintaan maaf oleh pemerintah Australia.

Berikutnya adalah kasus yang berhubungan dengan masalah terorisme, setidaknya ada tiga tindakan terrorisme yang melibatkan kedua Negara sebagai korban didalamnya dan semua tindak terror tersebut trjadi di Indonesia. Kasus-kasus tersebut adalah Bom Bali I, Bom Bali II, dan Bom didepan Kedutaan Besar Australia. Dalam tindak terror ini korban terbesar adlah warga Negara Australia, hal yang kemudiaan berakibat dikeluarkannya travel warning ke Indonesia oleh pemerintah Australia. Dalam kasus ini, media Australia benar-benar meliputunya secara mendetail, media massa Australia tidak hanya meliput ketika peristiwa itu terjadi, tetapi terus meliput proses hukum mengenai kasus ini, mulai dari penetapan tersangka, pengejaran sampai dengan persidangan untuk para tersangka.
Mengenai kasus ini media Australia mengkritisi kinerja intelejen dan kepolisian Indonesia yang dinilai lamban dalam bekerja. Kritikan inipun tidak mendapat tanggapan berarti oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia menjawab kritikan tersebut dengan diplomatis ”kami akan melakukan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah ini”. Seiring pemberitaan media Australia tentang keamanan Indonesia, pemerintah kedua Negara justru melakukan langka positif dengan melakukan kerjasama dibidang pertahanan pada tahun 2006 di Lombok, kerjasama yang lebih kita kenal dengan “Lombok Treaty”.

Masalah berikutnya yang menjadi pusat perhatian media Australia adalah masalah Papua. Papua yang merupakan salah satu provinsi dari Indonesia, pernah mengalami gejolak dengan adanya isu separatisme. Organisasi papua merdeka (OPM) yang mengatas namakan masyarakat Papua melakukan usaha-usaha untuk melepaskan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Masalah ini kemudiaan dibahas oleh media-media Australia dengan pokok pembicaraan utamanya yaitu diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pemberitaan-pemberitaan tersebut dinilai oleh pemerintah Indonesia sebagai pemberitaan yang tidak berimbang, hal ini diungkapkan langsung oleh duta besar Indonesia untuk Australia, Hamzah Thayeb mengatakan bahwa "Makanya saya sering katakan kepada mereka (Pers Australia), kalau terus menerus memberitakan hal-hal yang tidak benar tentang Papua, jelas akan mempengaruhi hubungan Australia dan Indonesia yang saat ini sudah berjalan bagus. Sebab jujur saja, sampai saat ini masih ada wartawan Australia yang menulis berita untuk kepentingan propaganda mereka (Papua Merdeka),". Tapi pernyataan tersebut sama sekali tidak menghentikan langkah pers australia untuk terus mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia mengenai Papua.

Masalah ini kemudiaan menghangat ketika secra sephak pihak imigrasi Australia memberikan visa tinggal kepada pencari suaka asal papua. Masalah yang kemudiaan langsung mendapat respon dari pemerintah Indonesia melalui depatemen luar negeri dengan yang menyebutkan poin-poin penting yang harus diperhatikan Australia dalam peristiwa ini, poin-poin tersebut adalah sebagai berikut :


1. Pemerintah Indonesia terkejut, kecewa dan sangat menyesalkan keputusan Departemen Imigrasi Australia (DIMA) yang pada tanggal 23 Maret 2006 telah memberikan visa tinggal sementara kepada 42 dari 43 WNI warga Papua pencari suaka.

2. Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah Indonesia pada level tertinggi telah memberikan penegasan bahwa tidak satupun dari ke-43 warga Papua tersebut, untuk alasan apapun, merupakan orang-orang yang tengah dikejar oleh aparat; mereka juga bukan orang-orang yang tengah mengalami ancaman atau tuntutan. Pemerintah Indonesia bahkan telah menjamin keselamatan 43 warga Papua tersebut apabila mereka kembali ke Indonesia. Keputusan DIMA, oleh karena itu, sama sekali tidak memiliki dasar hukum apapun.

3. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa 43 warga Papua tersebut tidak lebih dari sekedar migran ekonomi yang mencari kehidupan baru yang lebih baik. Indonesia menyesalkan bahwa klaim tanpa dasar yang diajukan oleh para pencari suaka tersebut telah diterima sebagai alasan pemberian visa tinggal sementara oleh Departemen Imigrasi Australia.

4. Dalam pandangan kami, keputusan pemberian visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua tersebut merupakan preseden yang kontra-produktif yang sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitifitas rakyat Indonesia terhadap isu ini. Keputusan itu juga tidak membantu berbagai upaya serius yang saat ini tengah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua melalui dialog. Keputusan itu juga seolah membenarkan spekulasi bahwa ada elemen-elemen di Australia yang membantu gerakan separatisme di Papua dan Pemerintah Australia tidak melakukan tindakan apapun terhadap mereka.

5. Pemerintah Indonesia menengarai adanya penerapan standar ganda oleh Pemerintah Australia dalam kasus pemberian visa tinggal sementara kepada warga Papua ini. Pada banyak kasus sejenis lainnya akhir-akhir ini, Pemerintah Australia secara keras dan kaku telah menolak permintaan para pencari suaka. Praktek seperti itu sangat berbeda dengan perlakuan terhadap 42 warga Papua pencari suaka dimana permohonan mereka dikabulkan secara tergesa-gesa dan gegabah.

6. Keputusan Departemen Imigrasi Australia tersebut bertentangan dengan semangat kerjasama bilateral, khususnya dalam hal mencegah migran gelap dimana kedua negara selama ini telah berupaya dengan keras untuk mewujudkannya. Kebijakan Pemerintah Australia ini hanya akan memperlemah komitmen negara-negara pihak dalam kerjasama pencegahan migran gelap.

7. Departemen Luar Negeri RI telah memanggil Dubes Australia di Jakarta pada hari Kamis siang ini tanggal 23 Maret 2006 guna menyampaikan protes dan sikap kecewa Indonesia.
Ditengah memanasnya hubungan bilateral antara kedua Negara, pers Australia justru membuat kontroversi baru dengan memuat karikatur yang memberikan ilustrasi tentang presiden yudhoyono sedang menunggangi seorang warga Papua, pemberitaan yang kemudiaan menuai banyak protes dari kalangan masyarakat Indonesia, serta lembaga-lembaga tinggi Negara Indonesia. Di kalangan DPR RI bahkan muncul keinginan untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatic dengan Australia. Sementara media massa Indonesia kemudiaan membalas dengan cara yang sama yaitu menghujat Howard dan Downer melalui karikatur.

Hal yang juga ditanggapi oleh presiden yudhoyono, melalui pidatonya dia mengatakan bahwa” Karikatur semacam itu, disamping tidak senonoh, cenderung agitatif, destruktif, dan bisa membangkitkan emosi rakyat”. Tetapi dalam dua kali pidatonya mengenai masalah ini presiden yudhoyono memilih untuk bersikap lebih bijak dengan menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk menahan diri.
Setelah melihat kasus-kasus yang ada diatas ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan mengenai pengaruh media massa Australia terhadap hubungan bilateral Indonesia- Australia, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Methode atau cara yang dilakukan oleh media Australia dalam upaya mencapai tujuannya yaitu dengan penggalangan opini public, yang kemudiaan menjadi penekan bagi pemerintah atau masyarakat dunia dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berhungan dengan pemberitaan tersebut.

2. Dalam beberapa kasus terutama yang melibatkan warga Negara Australia di Indonesia, media massa Australia berusaha untuk memberikan advokasi kepada warganya, meskipun terkadang dalam upaya advokasi tersebut media massa Australia banyak melakukan kritik kepada pemerintah Indonesia dan terkesan menunjukkan rasa tidak percayanya kepada pemerintah Indonesia.

3. Kecenderungan lain yang bisa kita tangkap yaitu sebagian besar isu yang diangkat yaitu mengenai isu pelanggaran HAM, dan media Australia memposisikan diri sebagai pihak yang tidak setuju dengan hal itu dan berusaha untuk melakukan upaya-upaya advokasi tanpa memperdulikan batas Negara karena isu ini dianggap isu kemanusiaan. meskipun terkadang dengan cara yang dianggap berlebihan oleh pemerintah Indonesia dan dianggap tidak menghormati kedaulatan NKRI.

4. Dalam menanggapi pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh media Australia, pemerintah kedua Negara cenderung bersikap lebih hati-hati, tapi hal yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat dan perwakilan rakyat Indonesia yang cenderung reaksioner dalam menanggapinya.

5. Dalam beberapa kasus media Australia bukanlah penyebab munculnya ketengangan antara kedua Negara, tetapi terkadang dianggap pemerintah Indonesia memperburuk suasana.

6. Secara umum pemberitaan pers Australia meskipun berpengaruh tetapi tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi hubungan bilateral kedua Negara. Karena pemerintah kedua Negara menganggap media Australia bukanlah representasi dari pemerintahan kedua Negara.

1 komentar:

emanon mengatakan...

:e

Posting Komentar

Back to Top